Menyorot Masa Depan Indonesia di Kumpulan Negara Maju G20
Posisi Indonesia
Kini yang menjadi pertanyaan adalah seberapa penting posisi Indonesia dalam kelompok negara-negara maju ini mengingat faktanya Indonesia berada di peringkat 17 ekonomi terbesar dunia. Ekonom senior, Sri Adiningsih, kepada VIVAnews, Minggu 16 November 2014, mengatakan, sudah saatnya Indonesia tidak hanya sebatas ‘undangan’ saja yang kerap identik dengan kegiatan seremonial. Seharusnya Indonesia bisa memanfaatkan momentum pertemuan G20 untuk memperoleh manfaat besar sebagai negara berkembang.
Presiden Jokowi dan para menteri yang ikut ke Brisbane ‘wajib’ memperhatikan dan membawa agenda sebagai negara berkembang kepada negara-negara maju di forum internasional tersebut. Misalnya, masalah Indonesia yang kini sedang menghadapi masalah current account dan defisit account. “Kemudian, dalam menghadapi ancaman volatilitas ekonomi terhadap pengurangan stimulus the Fed, bisa dibawa ke negara maju lainnya,” ujarnya.
Dengan membawa agenda semacam itu diharapkan menjadi perhatian serius dari negara-negara maju, seperti Amerika Serikat.
“Mengenai kepastian kenaikan suku bunga oleh The Fed (Bank Sentral AS), bisa jadi pembicaraan penting Indonesia, sebagai negara berkembang. Dengan begitu, mereka (negera-negera maju) harus memperhatikan kepentingan negara yang sedang berkembang, supaya dampak dari kenaikan suku bunga The Fed, tidak terlalu merugikan negara-negara yang sedang berkembang,” tutur Sri.
Selain itu, Indonesia seharusnya bisa mendorong impor-impor negara berkembang menjadi lebih baik dengan mengajak negara maju memberikan kesempatan kepada negara kelas dua agar bisa lebih maju.
“Indonesia harus bisa membawa perubahan arah perkembangan ekonomi dunia, ini penting sekali. Jadi, di G20 tahun ini memang bagusnya, kita jangan hanya jadi follower, tapi sudah harus bisa menjadi pelaku, sama posisinya dengan negara anggota maju lainnya di G20,” ujar dia.
Pengamat ekonomi dari INDEF, Aviliani meminta agar pemerintah tidak mengikuti semua ketentuan yang mengikat negara anggota G20. “Masalahnya, kita selalu mengikuti semuanya. Sebaiknya, Indonesia hanya mengikuti yang cocok dengan kita saja atau sesuai dengan usulan kita,” jelas Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) ini kepada VIVAnews.
Senada dengan Sri Adiningsih, Aviliani menilai pertemuan G20 kali ini merupakan momen tepat bagi Indonesia mempertanyakan kebijakan The Fed terkait kenaikan suku bunga. “Jelas ini penting karena kita, sebagai negara berkembang dapat tahu persis bagaimana mengantisipasinya. Hal lainnya, bagaimana mengatasi tingkat pengangguran dan apakah memungkinkan jika suku bunga diturunkan saja. Pembicaraan-pembicaraan ini diharapkan masuk juga sebagai agenda Jokowi dan timnya selama di Brisbane,” kata dia.
Kepala Bidang Riset dan Monitoring Indonesia for Global Justice, Rachmi Hertanti, mengatakan Indonesia seharusnya bisa menyuarakan kepentingan perdagangan dari negara-negara miskin dan berkembang di pertemuan G20 tahun ini.
Ini untuk memastikan adanya perlindungan yang cukup bagi pelaku ekonomi kecil, seperti nelayan. Jadi, bukan hanya mendorong perdagangan bebas tanpa memperhatikan kerugian yang diderita.
“Pemerintah harus memperhatikan usulan dari Ibu Susi, Menteri Perikanan dan Kelautan. Selama ini, Indonesia dirugikan dari sistem perdagangan yang tidak adil. Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah mempertimbangkan usulan Ibu Susi untuk Indonesia ke luar dari G20.
Rachmi juga mengungkapkan, pertemuan G20 kali ini merupakan kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk memberikan arah baru bagi tata ekonomi global. “Jika hal tersebut tidak dimungkinkan, sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan ke luar dari G20,” kata dia.
Pidato Jokowi
Lalu apa yang disampaikan Jokowi kepada para pemimpin negara-negara maju demi kemajuan negara berkembang? Dalam pidato pertamanya, Jokowi memanfaatkan untuk memperkenalkan diri serta membeberkan program-program prioritas yang akan dia lakukan untuk Indonesia.
Pertama, dia akan melakukan peningkatan daya saing nasional, melalui proses penyederhanaan perizinan investasi dan membentuk layanan one stop service nasional.
“Enam bulan dari sekarang, Indonesia akan memiliki sistem perizinan investasi yang terintegrasi dan bisa diakses online,” kata Jokowi di hadapan para pemimpin negara G20.
Kedua, di bidang pajak. Jokowi ingin meningkatkan tax ratio terhadap GDP menjadi 16 persen, dari posisi saat ini di bawah 13 persen. Dengan perbaikan sistem perpajakan, termasuk transparansi dan sistem IT, Jokowi mengaku optimistis angka ini akan meningkat.
Ketiga, mengurangi beban subsidi bahan bakar minyak dan memindahkan alokasi subsidi tersebut untuk pembiayaan infrastruktur, yaitu pembangunan jalan, pelabuhan laut dan bandara, serta mendukung program kesejahteraan rakyat.
Keempat, lebih banyak membangun infrastruktur sosial, yaitu pembangunan kualitas manusia Indonesia.
Sebagai tahap awal, dia sudah meluncurkan tiga program kesejahteraan, yaitu Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Keluarga Sejahtera. Kartu-kartu ini akan menjadi jaminan layanan gratis untuk masyarakat miskin di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
“Berbagai upaya ini akan dilaksanakan secara simultan. Ini merupakan cara kami untuk mengatasi dan menghindari middle income country trap serta pemberantasan korupsi yang menjadi momok pembangunan Indonesia,” ujarnya.
Di tengah-tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia beberapa tahun ini, kata Jokowi, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5,8 persen selama 8 tahun terakhir. Hal itu dicapai dengan mengandalkan pertumbuhan kelompok berpendapatan menengah, yang jumlahnya sekitar 25 persen dari populasi.
Namun, Jokowi mengaku tak akan menjadikan kelompok ini jadi prioritas. Jokowi akan fokus pada rakyat miskin agar memiliki pendapatan yang lebih besar.
“Saya pandang sejalan dengan tujuan kita bersama negara-negara G20, yaitu pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif. Itu adalah sumbangan Indonesia 5 tahun ke depan memulihkan perekonomiannya, dan pada gilirannya kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi global,” kata Jokowi. (umi)