Menyorot Masa Depan Indonesia di Kumpulan Negara Maju G20
VIVAnews – Pertemuan negara-negara maju yang tergabung dalam G20 di Brisbane, Australia, 15-16 November 2014, menelurkan ‘Brisbane Action Plan’. Brisbane Action Plan ini memuat ragam strategi G20 mendongkrak pertumbuhan ekonomi dunia.
Paling menonjol, kata Perdana Menteri Australia Tony Abbot saat membacakan kesepakatan bersama para pemimpin G20, adalah strategi mendirikan pusat koordinasi pembangunan infrastruktur global di Brisbane. Lembaga ini nantinya akan mengoordinasikan jaringan antar pemerintah, swasta, bank-bank pembangunan dan organisasi internasional lainnya.
Pusat koordinasi ini diharapkan merangsang swasta berinvestasi di bidang infrastruktur lewat kelonggaran birokrasi, sehingga pertumbuhan ekonomi dunia bisa terdongkrak 2,1 persen hingga 2018 mendatang. Efeknya diyakini bakal dirasakan negara-negara di dunia, tidak hanya anggota G20 saja.
Dalam pernyataan bersama yang dikutip BBC, disebutkan, jika strategi ini dilaksanakan, maka akan menambah pasokan lebih dari US$2 triliun untuk ekonomi global dan menciptakan jutaan pekerjaan.
Turut hadir dalam pertemuan itu Presiden Indonesia Joko Widodo. Terbang ke Brisbane untuk menghadiri pertemuan G20 merupakan bagian dari lawatan marathon Jokowi ke luar negeri, setelah menghadiri KTT APEC di Beijing dan KTT ASEAN di Myanmar.
Langkah mantan gubernur DKI Jakarta itu menuju Brisbane sebetulnya sempat menuai kritik dari anak buahnya sendiri di Kabinet Kerja. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta Indonesia ke luar dari G20. Alasannya, G20 merupakan kumpulan negara-negara maju, sementara Indonesia masuk kategori negara berkembang, sehingga dipertanyakan manfaatnya.
Alasan lain menteri yang dikenal ‘nyentrik’ ini adalah kebanyakan regulasi yang dibuat kelompok negara maju itu merugikan Indonesia. Di antaranya, aturan tentang produk impor, seperti pertanian dan perikanan dari negara berkembang ke negara maju ditetapkan tarif 0 persen, sementara dari negara maju ke negara berkembang dikenakan tarif 14 persen.
“Penghilangan bea masuk ini yang merugikan negara kita. Di negara G20 itu, tidak ada bea masuk dari produk negara-negara miskin,” kata Susi.
Perempuan yang sebelumnya, tercatat sebagai pengusaha sukses ini pun mencontohkan, kerugian yang didapat Indonesia dari impor ikan tuna yang dikenakan bea masuk 14 persen. Padahal nilai perdagangan tuna dunia mencapai US$700 juta.
“Kita kehilangan 14 persen dari bea masuk tuna yang nilai perdagangannya US$700 juta atau US$105 juta,” kata dia.
Sementara, nilai perdagangan udang mencapai dua kali lipat dari nilai perdagangan tuna. Itulah yang menjadi alasan Susi mendesak agar Indonesia ke luar dari kelompok negara tersebut.
Menanggapi pernyataan Susi, Wapres Jusuf Kalla menuturkan, Indonesia tidak pernah meminta masuk dalam kelompok itu. Faktanya, Indonesia menjadi negara dengan peringkat 17 ekonomi terbesar di dunia, sehingga otomatis masuk dalam kelompok G20. “Kalau tidak masuk kenapa minta ke luar?” kata Kalla.