Kompensasi ‘Sakti’ Jokowi, Mampukah Atasi Imbas Kenaikan BBM?
VIVAnews – Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Senin malam, 17 November 2014. Masing-masing naik Rp2.000 per liter dari harga yang dipatok sebelumnya, yakni premium menjadi Rp8.500 per liter dan solar Rp7.500 per liter.
Namun, masalah tidak sampai di situ saja. Masyarakat menjerit. Harga kebutuhan bahan pokok, yang sebelum pengumuman sudah naik, kini kian meroket. Imbasnya, harga cabai di sejumlah daerah pun semakin ‘pedas’.
Seperti di Pasar Badak Pandeglang, Banten, pada Selasa 18 November 2014, harga cabai rawit hijau dan cabai keriting merah naik hingga 100 persen. Harga beberapa kebutuhan bahan pokok pun langsung naik. Meski sebagian naiknya tidak siginifikan.
Harga cabai rawit hijau yang semula Rp25.000, naik menjadi Rp70.000 per kilogram. Begitu juga dengan cabai rawit keriting merah, dari harga Rp35.000 menjadi Rp80.000 per kilogram.
Sementara itu, harga bawang merah, bawang putih, tomat, dan lainnya, belum mengalami kenaikan signifikan. Kenaikan berkisar antara Rp1.000 hingga Rp2.000 per kilogram.
Meski begitu, para pedagang mengatakan harga komoditas itu dipastikan akan terus mengalami kenaikan. “Ini dampak kenaikan harga BBM. Barang di sejumlah daerah juga mulai menipis,” ujar Agus, pedagang di Pasar Badak.
Menurut Agus, para pedagang mengaku kecewa dengan kenaikan harga BBM. “Karena membuat rakyat kecil, terutama para pedagang kecil jadi sengsara,” kata Agus.
Dampak kenaikan harga BBM bersubsidi turut dirasakan oleh para sopir angkutan umum. Di Garut, Jawa Barat, para sopir angkutan perkotaan melakukan aksi mogok massal. Mereka menuntut Pemerintah, segera memberlakukan kenaikan tarif. Sebab, biaya operasional, serta jumlah setoran usai kenaikan harga BBM otomatis melonjak.
“Tarif yang sekarang Rp5.000, itu tidak akan bisa menutup biaya operasional dan setoran kepada pemilik angkot,” ujar Abdi, salah satu sopir angkot.
Aksi mogok ini tentu saja merugikan masyarakat pengguna angkutan umum. Angkot-angkot di kawasan Pasirwangi dan Samarang, Garut, diparkir di pinggir jalan. Mereka menolak mengangkut para penumpang.
Bahkan, beberapa angkutan yang kedapatan mengangkut para penumpang, dihentikan oleh para sopir lainnya. Alhasil, para penumpang pun terpaksa turun dari angkot dan mencari alternatif angkutan lain.
Selain angkutan umum di kawasan Pasirwangi dan Samarang, angkutan kota jurusan Cibatu, Cilawu dan Kadungora pun memilih tak beroperasi.
Berbeda dengan di Garut, para sopir angkutan umum di Pandeglang, justru mengambil sikap menaikkan tarif secara sepihak. Besaran kenaikan bervariasi, bahkan ada yang menaikkan hingga 100 persen. Padahal, belum ada surat edaran resmi dari Dinas Perhubungan setempat.
Di sub terminal Anten dan terminal Kabupaten Pandeglang, Banten, tarif angkutan umum antarkota naik 30 persen dari tarif dasar. Tarif angkutan jurusan Pandeglang-Saketi yang biasanya hanya Rp6.000, naik menjadi Rp9.000.
Sedangkan, para sopir angkutan umum antarprovinsi menaikkan ongkos hingga 100 persen. Tarif semula Rp25 ribu untuk jurusan Labuan-Kalideres, kini naik menjadi Rp50 ribu.
Hal ini, tentu membuat penumpang kecewa. Mereka keberatan, karena belum ada ketetapan resmi dari dinas terkait tentang tarif yang harus dikenakan kepada penumpang. Sementara itu, dinas terkait masih mengkaji besaran kenaikan tarif tersebut.
Terkait masalah itu, Kementerian Perhubungan langsung merespons. Kemenhub meminta seluruh pihak untuk bersama-sama mengawasi angkutan umum yang memberlakukan tarif melebihi 10 persen dari harga sebelumnya. Pelanggaran atas kebijakan itu, akan diberikan sanksi tegas hingga maksimal berupa pencabutan izin usaha.
“Kalau ada yang menemukan tarif di atas 10 persen sesuai dengan kebijakan Menteri Perhubungan, silakan laporkan ke aparat berwenang. Biar, nanti ditindaklanjuti. Kami akan berikan sanksi tegas,” ujar Pelaksana Tugas Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Sugihardjo, usai gelar jumpa pers di Kemenhub, Selasa 18 November 2014.
Penentuan tarif tertinggi 10 persen dari tarif sebelumnya tersebut, menurut Sugihardjo, sudah berdasarkan pertimbangan matang. Baik itu dari aspek kelangsungan usaha para pemilik angkutan hingga ke tingkat kemampuan daya beli masyarakat.
“Jadi, tidak perlu takut merugi untuk para pemilik angkutan umum,” ujarnya.
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan juga langsung angkat bicara. Ia meminta semua pihak berkepala dingin menyikapi kebijakan ini.
Ia mengimbau, Organisasi Angkutan Darat (Organda) untuk tidak melakukan aksi mogok. Ia mengaku telah melakukan komunikasi dengan sejumlah Organda untuk menyikapi kenaikan harga BBM. Salah satunya adalah dengan diakomodirnya usulan untuk mengajukan insentif fiskal dan non fiskal bagi angkutan umum di seluruh Indonesia.
“Saya ini bekas operator juga, jadi saya mengerti betul kebutuhan operator itu apa,” ujar Jonan di Kantor Kementerian Perhubungan.