Energi Baru Terbarukan Meningkatkan Kemandirian dan Ekonomi Masyarakat Desa
JAKARTA (31/10) – Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki lebih dari 80 ribu desa. Namun, masih ada 4.700 desa yang masih belum terailiri listrik. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya faktor geografis yang menghambat akomodasi pemasangan instalasi. Padahal, Indonesia memiliki banyak potensi Sumber Daya Alam yang dapat digunakan oleh masyarakat desa untuk membuat aliran listriknya sendiri melalui pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT)
Energi Baru Terbarukan atau EBT merupakan energi yang berasal dari proses alam dan dapat dimanfaatkan secara terus menerus (berkelanjutan). Sumber EBT yang paling umum diketahui seperti matahari, angin, air, laut, hingga panas bumi. Semua unsur alam itu berlimpah ruah di Indonesia. Potensi EBT di Indonesia diketahui sekitar 3.700 gigawatt. Namun, menurut Kementerian ESDM yang baru digunakan baru sekitar 81,2 gigawatt.
Eksplorasi potensi EBT ini menjadi salah satu misi dari Yayasan Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA). Yayasan yang didirikan oleh Iskandar Budisaroso Kuntoadji ini sejak 1992 berfokus pada menciptakan kemandirian bagi masyarakat dan salah satunya dengan mendorong pemanfaatan EBT di daerah-daerah terluar untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.
“Banyak daerah di Indonesia yang tidak cukup produktif karena permasalahan belum teraliri listrik dan itu berpengaruh terhadap ketahanan ekonomi mereka. Dengan mendorong masyarakat aktif untuk mengetahui dan menggunakan sumber daya alam di sekitarnya sebagai sumber energi listrik, mereka akan termotivasi untuk meningkatkan produktivitas dan melahirkan kemandirian serta peningkatan ekonomi pada masyarakat terutama di daerah terluar,” jelas Direktur Eksekutif Yayasan IBEKA, Sapto Nugroho dalam Webinar Bulan Lingkungan Sedunia yang diadakan oleh Bakrie Center Foundation.
Membentuk kemandirian masyarakat desa juga dilakukan oleh Yayasan Solar Chapter untuk menciptakan akses listrik melalui tenaga surya. Belum adanya akses listrik di daerah terluar berpengaruh pada cara masyarakat dalam mendapatkan air bersih untuk berbagai kebutuhan. Seperti yang terjadi pada sebagian masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang masih membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk mengambil air ke mata air. Selain waktu terbuang, mereka juga harus membeli air kurang lebih 300 ribu rupiah per bulan untuk memenuhi kebutuhan air bersih. Yayasan Solar Chapter menggagas penggunaan tenaga surya untuk menjalankan mesin air dari mata air ke pemukiman penduduk.
“Kondisi geografis masyarakat di NTT cenderung ekstrim sehingga kenapa masih banyak wilayah belum terjangkau listrik karena sulitnya alat instalasi listrik masuk ke desa-desa di NTT. Dengan pemanfaatan tenaga surya, ini bisa membuat masyarakat mandiri untuk mendapatkan sumber listrik dan karena matahari di sana tersedia sepanjang tahun sehingga sumber energinya pun dapat sustain,” tutur Rafael Abimanyu, Technical Director Yayasan Solar Chapter.
Untuk mendorong proses transisi energi menuju EBT, diperlukan edukasi dan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat agar menyadari pentingnya pemanfaatan EBT untuk pencegahan krisis iklim dan meningkatkan kemandirian masyarakat.