Jelang Tahun Politik, Pemuda Harus Melek Politik dan Mengawal Demokrasi
Oleh: Eric Mangiri (Alumni BCF, Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia/HMPI)
Dalam sejarah Indonesia dari prolog sampai epilog kemerdekaan, pemuda memiliki peranan luar biasa sebagai “avant garde” (ujung tombak) perubahan. Panggung sejarah telah mencatat sepak terjang yang ditorehkan oleh pemuda. Hal ini tercermin dari pertemuan dr.Wahidin Soedirohusodo, Soetomo dan pemuda lainnya yang menginisiasi terbentuknya organisasi pergerakan modern Boedi Utomo pada tahun 1908. Kemudian disusul dengan Perhimpunan Indonesia hingga Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang menjadi cikal bakal terjadinya integrasi ideologi yang dikenal dengan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang telah berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka.
Integrasi ideologi yang terjadi pada 28 Oktober 1928 telah berhasil membangun kekuatan yang besar dan berkontribusi dalam pencapaian kemerdekaan Indoenesia 16 Agustus 1945, pemuda Indonesia kembali melakukan manuver dengan menculik Dwi Tunggal (Soekarno-Hatta) ke Rengasdengklok yang kemudian peristiwa ini kita kenal dengan Peristiwa Rengasdengklok.
Para pemuda saat itu mendesak Soekarno-Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Meski permintaan pemuda saat itu ditolak dengan alasan bahwa kemerdekaan adalah hal yang mesti dipersiapkan dengan matang, namun pemuda telah memperlihatkan kekuatan politiknya.
Di masa pasca kemerdekaan, pemuda-pemuda tidak mengalami stagnasi dalam pergerakan. Berbagai gerakan progresif dibangun sebagai upaya untuk mengisi kemerdekaan dan merawat semangat revolusioner. Mereka diperhadapkan pada kenyataan politik baru, harapan-harapan baru dan juga ketakutan-ketakutan baru. Ketakutan yang dihadapi telah membawa pemuda untuk mempertanyakan segala sesuatu dan meragukan segalanya termasuk keraguan terhadap tokoh pendahulunya.
Keraguan-keraguan ini dapat terlihat pada parlemen jalanan yang dilakukan oleh pemuda saat itu yang menampilkan keinginan untuk membongkar setiap gejala yang dianggap sebagai kebatilan dan menggantikannya dengan sesuatu yang baru. Hal ini bisa kita lihat di tahun 1966 ketika munculnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang membawa semangat tritura yang kemudian berhasil melengserkan Soekarno yang menjadi tanda berakhirnya orde lama.
Kemudian tampuh kekuasaan negeri ini berada di bawah rezim orde baru yang menampilkan wajah anti terhadap gerakan politik pemuda. Gerakan politik pemuda dipandang sebagai kerikil dalam menerapkan kebijakan ekonomi pasar bebas. Berbagai kebijakan diterapkan untuk menutup rapat kran politik pemuda termasuk kebijakan NKK/BKK.
Di lain sisi, kebijakan “floating mass” juga diterapkan untuk mengasingkan masyarakat dari realitas politik. Meski demikian, berbagai aksi parlemen jalanan tetap terjadi di masa ini, sebut saja peristiwa malari di tahun 1974 sebagai bentuk upaya menentang dominasi modal asing Jepang. Tidak ketinggalan pula peristiwa heroic yang menjadi romantisme tersendiri dalam gerakan mahasiswa/pemuda yaitu tragedi 1998 yang berhasil mengakhiri rezim orde baru. Pada titik ini, Indonesia kembali memasuki babak baru yaitu orde reformasi.
Tahun 2018 hingga 2019 adalah Tahun Politik. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak rencananya akan dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2018. Sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi pada ajang pemilihan kepala daerah tahun ini. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada. Selanjutnya, pemilihan legislatif (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) akan digelar serentak pada 17 April 2019.
Pemuda(i) Indonesia harus melek politik dan turut berperan dalam mengawal proses demokrasi. Partisipasi pemuda dalam politik ini bisa dimanifestasikan dalam berbagai bentuk. Pemuda dapat mengambil peran independen yang mengawal proses demokrasi agar terwujudnya pilkada yang bersih sebagaimana yang diharapkan, pemuda juga dapat melakukan edukasi kepada masyarakat terkait pendidikan politik.
Namun tidak menutup kemungkinan pemuda juga dapat menjadi bagian dari tim pemenangan calon kepala daerah. Hal ini adalah sesuatu yang wajar saja asalkan keterlibatan pemuda sebagai tim pemenangan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif demi kebaikan daerah, bukan justru hanya menjadi bidak catur.
Keterlibatan pemuda secara aktif dalam pilkada tidak juga boleh dipandang serta-merta sebagai suatu bentuk penggadaian idealisme. Namun momentum pilkada ini mesti dijadikan sebagai kesempatan untuk menyelamatkan demokrasi yang bagi kebanyakan orang telah mengalami kecacatan dan sangat jauh dari harapan. Sebisa mungkin dengan keterlibatan pemuda sebagai moral of force dapat mengurangi praktek money politic, black campaign dan praktik politik kotor lainnya sehingga masyarakat tidak terjebak pada pragmatisme politik.
Menghujat praktek-praktek politik kotor yang dilakonkan oleh politisi-politisi tidak akan memperbaiki kondisi. Hanya ada dua cara untuk mengubah sistem yang kita anggap gagal. Yang pertama adala terlibat aktif di dalamnya dengan melakukan gerakan-gerakan progresif. Yang kedua adalah membuat sistem tandingan yang dapat diterapkan.
Menciptakan proses demokrasi sesuai dengan harapan bukanlah sesuatu yang utopis, selama gerakan-gerakan kecil tetap dilakukan meski membutuhkan waktu yang lama. Namun satu hal yang pasti, bahwa selama kita mendayung maka kita akan bergerak menuju ke pantai untuk berlabuh. Namun jika kita diam, kita sisa menunggu badai menghantam dan menenggelamkan kita.