Mengatasi Ketimpangan Ekonomi
Bisnis.com, JAKARTA – Paradoks antara pertumbuhan ekonomi tinggi dengan ketimpangan antarpendapatan per kapita dan antar wilayah menjadi masalah terbesar perekonomian nasional dalam 5 tahun mendatang.
Gini ratio yang mencerminkan ketimpangan antarpendapatan per kapita meningkat dari tahun ke tahun. Demikian juga indeks Williamson yang mencerminkan ketimpangan antardaerah tetap tinggi.
Hal ini dapat diamati pada angka pertumbuhan ekonomi nasional sekitar 5,5% dalam 10 tahun ter-akhir diikuti gini ratio yang me-ningkat yaitu 0,329 pada 2002 menjadi 0,413 pada 2013.
Sementara itu, indeks Williamson yang menunjukkan ketimpangan antardaerah juga tinggi, yaitu 0,486 pada 2005 dan 0,420 pada 2011, di mana gini ratio dan indeks Williamson mendekati satu diartikan sangat timpang.
Kondisi ini sudah diperingatkan oleh dua ekonom, yaitu Kuznets (1955) dan Williamson (1965) bahwa negara pada tahap praindustri mengalami pertumbuhan pendapatan per kapita tinggi diikuti ketimpangan yang semakin lebar. Tren seperti di atas baru akan berhenti ketika negara tersebut memasuki fase industri.
Pertumbuhan ekonomi tinggi yang disertai ketimpangan di negara praindustri seperti Indonesia hanya bisa diatasi dengan mempercepat proses transformasi struktural menuju perekonomian berbasis industri manufaktur.
Tidak hanya itu, transformasi struktural akan membawa Indonesia segera keluar dari middle income trap dengan pendapatan per kapita meningkat menjadi US$7.250 per tahun pada 2019 dan lebih besar US$12.250 pada 2030.
PENYEBAB KETIMPANGAN
Jumped structural transformation merupakan penyebab utama ke-timpangan, yaitu melompat dari sektor primer ke sektor tersier. Perekonomian Indonesia tidak pernah memasuki fase industri dan selama 29 tahun terakhir berada dalam fase praindustri dengan ke-timpangan tinggi.
Ketimpangan juga terjadi karena alokasi belanja modal pemerintah pusat yang terlampau terfokus di Jawa, di mana kurang lebih 80% alokasi belanja modal APBN diper-untukkan di Jawa dan Sumatra, sedangkan sisanya untuk kawasan timur Indonesia (KTI). Padahal selama ini, belanja pemerintah berperan sebagai prime mover perekonomian nasional.
Kondisi ini diperparah oleh pengeluaran pemerintah daerah yang lebih banyak dialokasikan untuk belanja pegawai, termasuk perjalanan dinas yang tidak produktif. Banyak daerah yang belanja modalnya kurang 10% dari belanja APBD.
Berdasarkan spatial disequilibrium approach, dana transfer pemerintah pusat dalam bentuk DAK dan DAU kembali mengalir ke sentra ekonomi di Jawa.
Hal ini, ditambah lagi dengan munculnya fenomena brain drain migration yang disebabkan oleh lambannya perkembangan indus-tri di luar Jawa. Fenomena ini ditandai oleh perpindahan tenaga kerja terampil dari luar Jawa ke Jawa. Padahal mereka dididik dengan menggunakan dana pembayar pajak di luar Jawa.
Tidak hanya itu, pemerintah pusat selama ini menganut doktrin yang salah dalam pembangunan infrastruktur, yaitu infrastructure follow people. Doktrin ini harusnya bergeser menjadi people follow infrastructure. Pemerintah diharapkan membangun infrastruktur di luar Jawa yang akan diikuti oleh pergeseran industri.
Sementara itu, alokasi kredit perbankan nasional yang dimotori bank BUMN juga sangat terpusat di Jawa, Bali dan Sumatra. Dari sekitar Rp3.516 triliun kredit perbankan nasional per Juli 2014, sekitar 85% setara 3.005 triliun disalurkan di Jawa, Bali dan Sumatra sedangkan sisanya 15% atau sekitar Rp511 triliun ke KTI.
PROSES INDUSTRIALISASI
Berdasarkan kecenderungan di atas, tidak ada pilihan lain dalam mengatasi permasalahan ketimpangan pertumbuhan selain fokus pada percepatan industrialisasi, khususnya industri padat karya di luar Jawa.
Tujuannya mengurangi ketimpangan distribusi output nasional yang saat ini 82,67% berada di Jawa, Bali dan Sumatra, sedangkan sisanya 17,36% di KTI yang justru kaya sumber daya alam (SDA).
Paradoks pertumbuhan ekonomi tinggi lebih besar 8,0% di beberapa daerah di luar Jawa yang diikuti gini ratio tinggi disebabkan oleh struktur ekonomi yang terlampau tergantung pada sektor pertanian dan perdagangan komoditas nonolahan. Nilai tukar petani yang mencerminkan perbandingan antara pendapatan dan belanjanya menjadi sangat rendah.
Daerah-daerah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Papua, dan Papua Barat sangat tergantung pada sektor pertambangan yang bersifat padat modal dengan kebutuhan tenaga kerja terbatas.
Permintaan tenaga kerjanya tidak sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja lokal yang mayoritas pendidikannya hanya sekolah menengah pertama ke bawah.
Selain itu, sumber pembiayaan pembangunan industri di luar Jawa juga sangat minim yang hanya mungkin diatasi dengan mengubah basis pembiayaan dari APBN based ke bank based. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah doktrin bisnis bank BUMN dari bank follow business menjadi business follow bank.
Namun, paket reformasi di atas tidak akan berjalan tanpa ketersediaan infrastruktur terintegrasi di luar Jawa. Termasuk menyeimbangkan pengembangan kawasan industri antara Jawa dengan luar Jawa sehingga menjadi 60% di Jawa–Sumatra dan 40% di KTI dari saat ini 71 kawasan industri di Jawa dan Sumatra serta tiga di Sulawesi dan Kalimantan.
Semoga berhasil.
MUHAMMAD SYARKAWI RAUF, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)